Dua
buah bulatan es krim memiliki tekstur permukaan tak rata saling bertindihan—
menghuni ruangan gelas kaca model payung yang menanunginya. Karena diameter
gelas yang tak seberapa, kedua bulatan es krim itu terkesan menggumpal seolah
berdesakan.
Gelas
payung itu berada diatas sebuah baki, dibawa oleh seorang pramusaji dengan
langkah yang tergesa, sehingga menyebabkan taburan coklat dan bubuk cappucino
yang semula berdiam dan berkerumun diatas permukaan es krim—terlihat perlahan
berhamburan seakan rontok dan memenuhi dasar gelas akibat guncangan.
Pramusaji
itu seorang perempuan—dengan langkah cepat menghampiri kursi pengunjung bernomor
21 yang dihuni seorang lelaki dan gadis—dua orang yang terkesan seperti
pasangan kekasih.
Ketika
pramusaji tiba di samping meja, dilihatnya kedua orang pelanggannya itu saling
menundukkan wajah seolah dingin tanpa ekspresi. Suasana itu membuat si pramusaji
menebak – nebak sepertinya kedua orang pengunjungnya sedang dilanda problema.
Kedai
es krim memang ramai di akhir pekan—menyebabkan setiap karyawan yang shift pada saat itu mendapatkan tugas
ekstra daripada hari – hari biasa. Dari pukul 10.00 pagi, si pramusaji sudah
bekerja dengan giat. Semangat bekerjanya tidak luntur lantaran banyaknya tamu yang
datang hari ini kesemuanya selalu memamerkan ekspresi wajah bahagia dikarenakan
puas dengan berbagai es krim yang dipesan, dan hal itu yang menyulut semangat
sang pramusaji untuk tetap berkobar. Kerja keras pelayanan dan cita rasa
racikan es krimnya dihargai.
Sekarang
waktu menunjukkan pukul 17.00. Selama sang pramusaji bekerja sebagai karyawan
di kedai es krim, dia baru mendapati sepasang pengunjung yang merasa tidak
bahagia seperti dua orang yang berada di hadapannya. Bahkan, kedua
pengunjungnya itu seolah tidak merasakan kehadiran sang pramusaji yang sudah
berdiri didekat meja sedari tadi.
“Maaf,
ini es krim gelato vanilla coklat moccachino pesanannya,” ucap sang pramusaji sambil
menundukkan sedikit tubuhnya dan meletakkan gelas payung berisi eskrim
dihadapan sang lelaki berkemeja rapi yang memakai kacamata berbingkai tebal,
berambut klimis tipis, mempunyai hidung yang mancung.
Lelaki
itu tersentak ketika mendapati tiba – tiba saja muncul sebuah es krim yang
disodorkan dihadapannya. Kemudian si lelaki menoleh kepada sang pramusaji, menyunggingkan
senyum yang seolah dipaksakan dan mengucapkan sepatah kalimat,
“Terima
kasih”
Si
pramusaji menegapkan posisi badannya sambil membalas senyuman. Dia menoleh ke
gadis dihadapannya yang masih saja tertunduk pandangannya—tak terusik
sedikitpun dengan kehadiran dirinya dan interaksi percakapannya dengan si
lelaki. Bahkan sang pramusaji mendapati, es krim yogurt taburan aneka buah
pesanan sang gadis tak berkurang sedikitpun. Sebagian sudah terlihat meleleh.
Gadis
dihadapannya itu memiliki model rambut berponi. Ketika menunduk— nyaris seluruh
wajah bagian atasnya tertutup. Memakai cardigan rajut yang kebesaran, sehingga
nampak seperti berselimut handuk.
“Hmm
... apakah ada menu tambahan es krim lain yang sekiranya ingin dipesan?” Tanya
si pramusaji dengan lemah lembut disertai tawa enerjik.
Sebenarnya,
si pramusaji tak ada niatan untuk mengajukan tawaran, namun berhubung dia
melihat situasi yang tak kondusif melanda pengunjungnya, siapa tahu menu es
krim dengan cita-rasa lain bisa mengubah suasana hati.
“Tidak
mbak ... terimakasih, “ jawab si lelaki.
“Okelah,
kalau begitu silahkan dinikmati.” Kemudian si pramusaji beranjak meninggalkan
meja nomer 21.
Namun,
baru berjalan beberapa langkah saja, pengunjung meja nomer 22 yang terdiri dari
sekelompok keluarga baru saja meninggalkan kedai.
Dengan
sigap, si pramusaji langsung memasuki sekat pemisah antara ruangan meja nomer 21 dan 22. Dia segera membersihkan
meja kotor yang berceceran lelehan es krim serta berbagai remahan toping. Menata
gelas serta mangkuk – mangkuk serapi mungkin diatas baki, dan langkah terakhir
adalah mengeluarkan lap yang bermukim di saku seragam kerjanya lalu mulai
menggosok permukaan meja agar kembali mengkilap.
Si
gadis pelanggan di meja nomer 21 tiba-tiba mendongakkan pandangannya. Poninya
tersibak, sehingga mempertunjukkan wajahnya yang tirus. Kini tatapan si gadis
berbanding lurus saling berhadapan dengan si lelaki.
Karena
letak meja nomer 22 dan 21 hanya bersebelahan dan dipisahkan oleh sekat kaca
yang transparan, maka si pramusaji mempunyai keuntungan dengan posisinya saat ini—sambil mengelap meja—sesekali
mengintip apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua pasangan itu.
Didapatinya
oleh si pramusaji, pipi sang gadis merah merona karena perpaduan komposisi make-up yang serasi. Bibirnya merah
membara dan berkilau lembab karena olesan lip-gloss.
Alis matanya berseri karena pemakaian aksesoris eye liner. Keseluruhan, si gadis terkesan anggun.
"Apa
diammu itu menandakan ketidaksediaanmu untuk kembali kepadaku?" Si gadis
memulai pembicaraan.
Perkataannya
itu menghentikan laju sendok dalam genggaman si lelaki yang ujungnya hampir
menyentuh bibir.
Lalu
si lelaki mengurungkan niatnya meleburkan sensasi es krim ke dalam indra
pencecapnya dan malah menusukkan sendok yang digenggamnya ke gumpalan bulatan
es krim dalam gelas payung—merusak pola awal es krim gelato miliknya.
"Bukannya
aku sudah bilang, pertemuan ini bakalan berujung pada kesia - siaan belaka.
Apapun usaha dan segala alasanmu, aku sudah berjanji pada diriku takkan pernah
lagi mengambil keputusan yang salah untuk yang kesekian kalinya," ucap si
lelaki dengan tatapan tajam ke arah si gadis.
Si
lelaki lalu meremas kedua telapak tangannya diatas meja—seolah seperti ada
gejolak emosi yang dia tahan untuk dilampiaskan. Luapan emosi yang meledak di
dalam hati.
"Tapi
kali ini...," Ungkap si gadis dengan wajah memelas namun perkataannya
disela oleh omongan si lelaki.
"Kau
tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh seseorang yang dikaguminya, dicintainya?
Kau tahu bagaimana rasanya dicampakkan mendadak oleh seseorang yang dulunya
memohon kembali dan berjanji takkan mengulangi namun segalanya itu ternyata
bualan belaka? Jadi, aku tak ingin mendengar lagi kata kali ini ... kali ini dan kali
ini ... apapun alasanmu itu. Dulu ... aku terlalu bodoh segampang itu
mempercayaimu jika kau sudah mengatakan kali
ini!" Terang si lelaki dengan nada meninggi.
Hening
sejenak mewarnai suasana. Si pramusaji sebenarnya sudah selesai mengelap meja
pelanggan sedari tadi. Namun dia memutuskan tidak langsung beranjak dari meja
nomer 22. Dia malah berlagak sok sibuk membersihkan sesuatu, padahal niatnya
hanya ingin mencuri dengar.
"Jika
kamu tak mau lagi kembali kepadaku, mengapa kau sudi menghadiri ajakanku untuk
datang ke kedai es krim ini setelah sekian lama mengacuhkanku? Bukankah
kesediaanmu ini hanya membenamkan harapan palsu terhadapku?" Si gadis
tirus mulai menggigiti bibirnya. Raut kecewa menguasai wajahnya.
"Aku
mau menghadiri ajakanmu tak lain untuk menegaskan bahwa diriku sudah tak ingin
lagi menjadi pelampiasanmu. Tak ingin lagi menjadi bonekamu. Kesimpulannya, aku
ingin mengucapkan selamat tinggal dan aku harap ini adalah pertemuan terakhir
kita. Jadi jangan pernah ganggu hidupku lagi," Jelas si lelaki. Kemudian
dia berdiri, mengambil jaket almameter kampusnya yang tersampir di kursi dan
memakainya.
Si
lelaki beranjak dari kursinya. Namun belum jauh melangkah, dia berhenti
sejenak, memalingkan wajah ke-belakang dan didapatinya kini posisi pandangan si
gadis menatap hampa kursi kosong dimana sang lelaki tadi duduk.
Si
lelaki merasa ada sesuatu yang perlu diucapkan kepada si gadis untuk yang
terakhir kalinya. Pandangan si lelaki menggambarkan ketidakrelaan dirinya
meninggalkan mantan pujaan hati. Namun, rasa benci juga terhampar dalam sorot
matanya.
Lalu,
entah mengapa lelaki itu memutuskan mengurungkan apapun yang ingin
diungkapkannya terhadap si gadis. Lelaki itu memalingkan tubuh dan berjalan
keluar kedai. Meninggalkan si gadis yang duduk mematung.
Entah
apapun yang pernah dilakukan sang gadis terhadap lelaki itu, dari tempatnya
berdiri, sang pramusaji menebak bisa saja luka dihati sang lelaki sudah terlalu
dalam.
Mata
sang pramusaji mengikuti pergerakan si lelaki yang terlihat dari luar kaca
jendela kedai sedang berdiri di bawah lampu lalu-lintas dan bersiap menyebrangi
zebra cross. Ketika si pramusaji melirikkan
mata ke arah si gadis, dirinya terperanjat saat tatapan si gadis bertemu
pandang dengan dirinya. Didapatinya, kelopak mata si gadis sudah dipenuhi air
mata yang seolah menunggu hitungan aba-aba untuk segera berlinang.
Akhirnya,
si pramusaji tertangkap basah menguping pembicaraan sedari tadi. Karena panik,
si pramusaji berpura - pura mengelap papan kaca yang menjadi sekat antara
mereka berdua dan berharap si gadis tak begitu curiga terhadap dirinya.
Gadis
tirus itu memberdirikan tubuhnya, membuat cardigannya seketika melorot setengah
badan, memperlihatkan seragam abu-abu khas pelajar SMA. Dia menarik tisu dari
sarangnya di atas meja dan menyeka air matanya yang mengalir di pipi. Setelah
itu dia kembali menatap ke samping, didapatinya dari balik sekat kaca si
pramusaji memandanginya.
Si
pramusaji menelan ludah, merasa ingin berlagak pura-pura lagi pun tak ada
gunanya.
“Entah
kenapa rasanya aku ingin bertukar tempat dengan dirimu.” Ucap si gadis.
Si
pramusaji terhenyak disuguhi wajah sendu si gadis.
“Bagaimanapun,
rutinitas mengelap sekat kaca dengan hati yang belum terluka rasanya lebih melegakan daripada harus terang-terangan
menjalani hari-hari ke depan dihantui perasaan tidak menentu.” Gadis itu
menghela napas panjang.
“Namun,
pintu kesempatan itu tetap masih ada kan? Walau sekecil apapun celah yang
terbuka?” Si gadis mencoba tersenyum di tengah kesedihannya.
“Eh...,”
Si pramusaji tertegun dilontarkan pertanyaan seperti itu. Dia tak tahu harus
menjawab apa.
Tak
lama, si gadis beranjak pergi, berlari seperti orang kesetanan keluar kedai.
Mata si pramusaji mengikuti langkah cepat si gadis. Rute yang diambil si gadis
adalah rute yang dilalui oleh sang lelaki tadi. Si gadis tak menyerah, dia
mengejar kembali si lelaki.
"Stella...!"
Terdengar teriakan yang membuyarkan konsentrasi mengintai si pramusaji.
Ketika
memalingkan wajah mencari di mana sumber teriakan yang memanggil namanya tersebut—didapatinya
suara itu berasal dari manajernya yang kini berdiri bersedekap dada memberikan
isyarat agar dirinya tidak bengong dalam bekerja dan segera membersihkan meja
nomer 21 sebelum ada pelanggan lain yang menempati.
Stella
mengangguk memberikan kode balasan agar segera mematuhi perintah. Dia keluar
dari meja nomer 22 dan memasuki meja nomer 21. Diambilnya kembali lap dari saku
seragamnya, namun gerakannya terhenti sebatas menggenggam pangkal ujung kain
lap tanpa menariknya keluar dari saku saat mendapati es krim gelato vanilla coklat
moccachino buatannya mencair dan porsinya masih utuh seperti sedia kala. Dia
juga mendapati es krim yogurt bertabur buah milik si gadis meleleh membentuk
genangan dalam mangkuk.
Stella
ingat, enam bulan lalu selulus dirinya dari SMK, dia mendaftar kerja di kedai
es krim ini sembari menumpuk pundi - pundi tabungan pribadinya agar mampu
berkuliah suatu saat nanti. Ketika mulai bekerja, dia berjanji bakal serius mengolah
dan membuat es krim pesanan pelanggan sebaik mungkin dengan penuh perasaan.
Enam bulan ini memang hasilnya memuaskan, banyak pelanggannya yang gembira
dengan racikan es krim olahannya.
Namun,
rasa kecewa muncul setelah mendapati es krim racikannya saat ini dibiarkan
meleleh tanpa diberi kesempatan dicecap oleh lidah. Dia lalu ingat beberapa
menit yang lalu ketika disodori pesanan es krim gelato—dia membuatnya diluar
resep resmi pemilik kedai.
Hasil
semalaman browsing mengenai resep
rahasia di internet, membuatnya bereksperimen meracik es krim gelato yang unik
ala Stella dengan takaran manis yang belum pernah ada. Dan dia yakin rasanya
bakalan nano - nano dilidah pelanggan. Oleh sebab itu, jadwal asli Stella akhir
pekan ini yang seharusnya berada di dapur pembuatan sampai kedai tutup—tetapi
dikarenakan dirinya penasaran ingin tahu langsung respon pelanggan yang mencicipi
racikan temuan barunya, maka dirinya tak masalah merangkap menjadi pramusaji.
Sungguh
sayang, hasilnya tak seperti yang diharapkan. Stella kembali menoleh ke arah
luar jendela kedai. Di jalanan kini tak didapatinya kedua orang tadi,
menghilang entah kemana.
Sesakit itukah...?
Bahkan semanis apapun rasa yang aku tanamkan di dalam sebuah adonan es krim tak
semudah itu mampu mendinginkan perasaan yang tercabik?
~~~~~~~~@@@@@~~~~~~~~
13 comments:
Aku pikir awalnya kisah orang dewasa ternyata masih pada umur tanggung. Kuliahan dan bocah SMA!
😂😂
Kalo lagi sedih makan es krim atau coklat pasti lebih melegakan..
Sayang sekali es krimnya. Gak dicicipin pun. Ckckk
Bagus sekali cerpennya, detail banget menceritakan..saya sukaaa... ^^
Suka sama gaya penulisannya :)
Nyeessss. ceritanya keren kak. huhu
Arum Kusuma @ Serius lagi sedih makan es krim atau coklat jadi melegakan? Sepertinya ada yang pengalaman, xixixixxi :) Yowis, kapan2 makan es krtim bareng Rum :P
Muyassaroh @ Makasih banyak ya mbak :) Cerpen mbak juga gak kalah bikin baper T,T :D
Nathalia DP@ Makasih banyak Mbak Lia :)
Foodies OF@ Walah kuk nyess, jangan2 es krimnya yang diriew bukan ceritanya hehe :) Terima-kasih ya :)
Suka sama jalan ceritanya! Gak disangka-sangka aja gitu. Yah es krimnya meleleh, tau gitu buat aku aja hehehe.
Baru pertama kali nih kesini, salam kenal ya! Mba nana baru aja follow, boleh followbacknya?
willynana.blogspot.com
Fransisca @ wah Nana suka es krim juga :) Makasih ya udah sempatin baca cerpenku :)
Siap Nana, pasti di folback :) Salam kenal juga :D
iya, sayang es krimnya. Tapi si lelaki memang kalau sudah memutuskan sikap, maka harus tegas ya.. Meskipun si gadis menunjukkan kesenduannya, tetap diacuhkan saja
tak kira cerita dewasa ..
Annisa Rizki Sakih@ Hehe ya mau gimana lagi mbak, hati yang berbicara disini. Kalau pikirannya ingin peduli ma si gadis tapi hati menolak tegas, ya sudah begitulah jadinya :D
Cara edit@ Walah, bukan gan :)
Alur ceritanya bagus dibaca sampai akhir.
Es krimnya daripada sia-sia ... buat aku aja deh 😁
Himawan Sant@ hehehe disini yang berkomentar rata2 pada ngincar es krimnya deh bang :D
Kalau dihitung-hitung, kejadiannya tuh hanya sebentar. Tapi bisa jadi sepanjang ini. Wah...
Post a Comment