Saturday, March 10, 2018

CERPEN RASA YANG TERCABIK

Dua buah bulatan es krim memiliki tekstur permukaan tak rata saling bertindihan— menghuni ruangan gelas kaca model payung yang menanunginya. Karena diameter gelas yang tak seberapa, kedua bulatan es krim itu terkesan menggumpal seolah berdesakan.

Gelas payung itu berada diatas sebuah baki, dibawa oleh seorang pramusaji dengan langkah yang tergesa, sehingga menyebabkan taburan coklat dan bubuk cappucino yang semula berdiam dan berkerumun diatas permukaan es krim—terlihat perlahan berhamburan seakan rontok dan memenuhi dasar gelas akibat guncangan.

Pramusaji itu seorang perempuan—dengan langkah cepat menghampiri kursi pengunjung bernomor 21 yang dihuni seorang lelaki dan gadis—dua orang yang terkesan seperti pasangan kekasih.


Ketika pramusaji tiba di samping meja, dilihatnya kedua orang pelanggannya itu saling menundukkan wajah seolah dingin tanpa ekspresi. Suasana itu membuat si pramusaji menebak – nebak sepertinya kedua orang pengunjungnya sedang dilanda problema.

Kedai es krim memang ramai di akhir pekan—menyebabkan setiap karyawan yang shift pada saat itu mendapatkan tugas ekstra daripada hari – hari biasa. Dari pukul 10.00 pagi, si pramusaji sudah bekerja dengan giat. Semangat bekerjanya tidak luntur lantaran banyaknya tamu yang datang hari ini kesemuanya selalu memamerkan ekspresi wajah bahagia dikarenakan puas dengan berbagai es krim yang dipesan, dan hal itu yang menyulut semangat sang pramusaji untuk tetap berkobar. Kerja keras pelayanan dan cita rasa racikan es krimnya  dihargai.

Sekarang waktu menunjukkan pukul 17.00. Selama sang pramusaji bekerja sebagai karyawan di kedai es krim, dia baru mendapati sepasang pengunjung yang merasa tidak bahagia seperti dua orang yang berada di hadapannya. Bahkan, kedua pengunjungnya itu seolah tidak merasakan kehadiran sang pramusaji yang sudah berdiri didekat meja sedari tadi.

“Maaf, ini es krim gelato vanilla coklat moccachino pesanannya,” ucap sang pramusaji sambil menundukkan sedikit tubuhnya dan meletakkan gelas payung berisi eskrim dihadapan sang lelaki berkemeja rapi yang memakai kacamata berbingkai tebal, berambut klimis tipis, mempunyai hidung yang mancung.

Lelaki itu tersentak ketika mendapati tiba – tiba saja muncul sebuah es krim yang disodorkan dihadapannya. Kemudian si lelaki menoleh kepada sang pramusaji, menyunggingkan senyum yang seolah dipaksakan dan mengucapkan sepatah kalimat,
“Terima kasih”


Si pramusaji menegapkan posisi badannya sambil membalas senyuman. Dia menoleh ke gadis dihadapannya yang masih saja tertunduk pandangannya—tak terusik sedikitpun dengan kehadiran dirinya dan interaksi percakapannya dengan si lelaki. Bahkan sang pramusaji mendapati, es krim yogurt taburan aneka buah pesanan sang gadis tak berkurang sedikitpun. Sebagian sudah terlihat meleleh.

Gadis dihadapannya itu memiliki model rambut berponi. Ketika menunduk— nyaris seluruh wajah bagian atasnya tertutup. Memakai cardigan rajut yang kebesaran, sehingga nampak seperti berselimut handuk.

“Hmm ... apakah ada menu tambahan es krim lain yang sekiranya ingin dipesan?” Tanya si pramusaji dengan lemah lembut disertai tawa enerjik.

Sebenarnya, si pramusaji tak ada niatan untuk mengajukan tawaran, namun berhubung dia melihat situasi yang tak kondusif melanda pengunjungnya, siapa tahu menu es krim dengan cita-rasa lain bisa mengubah suasana hati.

“Tidak mbak ... terimakasih, “ jawab si lelaki.

“Okelah, kalau begitu silahkan dinikmati.” Kemudian si pramusaji beranjak meninggalkan meja nomer 21.

Namun, baru berjalan beberapa langkah saja, pengunjung meja nomer 22 yang terdiri dari sekelompok keluarga baru saja meninggalkan kedai.

Dengan sigap, si pramusaji langsung memasuki sekat pemisah antara ruangan  meja nomer 21 dan 22. Dia segera membersihkan meja kotor yang berceceran lelehan es krim serta berbagai remahan toping. Menata gelas serta mangkuk – mangkuk serapi mungkin diatas baki, dan langkah terakhir adalah mengeluarkan lap yang bermukim di saku seragam kerjanya lalu mulai menggosok permukaan meja agar kembali mengkilap.

Si gadis pelanggan di meja nomer 21 tiba-tiba mendongakkan pandangannya. Poninya tersibak, sehingga mempertunjukkan wajahnya yang tirus. Kini tatapan si gadis berbanding lurus saling berhadapan dengan si lelaki.


Karena letak meja nomer 22 dan 21 hanya bersebelahan dan dipisahkan oleh sekat kaca yang transparan, maka si pramusaji mempunyai keuntungan  dengan posisinya saat ini—sambil mengelap meja—sesekali mengintip apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua pasangan itu.

Didapatinya oleh si pramusaji, pipi sang gadis merah merona karena perpaduan komposisi make-up yang serasi. Bibirnya merah membara dan berkilau lembab karena olesan lip-gloss. Alis matanya berseri karena pemakaian aksesoris eye liner. Keseluruhan, si gadis terkesan anggun.

"Apa diammu itu menandakan ketidaksediaanmu untuk kembali kepadaku?" Si gadis memulai pembicaraan.

Perkataannya itu menghentikan laju sendok dalam genggaman si lelaki yang ujungnya hampir menyentuh bibir.

Lalu si lelaki mengurungkan niatnya meleburkan sensasi es krim ke dalam indra pencecapnya dan malah menusukkan sendok yang digenggamnya ke gumpalan bulatan es krim dalam gelas payung—merusak pola awal es krim gelato miliknya.

"Bukannya aku sudah bilang, pertemuan ini bakalan berujung pada kesia - siaan belaka. Apapun usaha dan segala alasanmu, aku sudah berjanji pada diriku takkan pernah lagi mengambil keputusan yang salah untuk yang kesekian kalinya," ucap si lelaki dengan tatapan tajam ke arah si gadis. 

Si lelaki lalu meremas kedua telapak tangannya diatas meja—seolah seperti ada gejolak emosi yang dia tahan untuk dilampiaskan. Luapan emosi yang meledak di dalam hati.

"Tapi kali ini...," Ungkap si gadis dengan wajah memelas namun perkataannya disela oleh omongan si lelaki.

"Kau tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh seseorang yang dikaguminya, dicintainya? Kau tahu bagaimana rasanya dicampakkan mendadak oleh seseorang yang dulunya memohon kembali dan berjanji takkan mengulangi namun segalanya itu ternyata bualan belaka? Jadi, aku tak ingin mendengar lagi kata kali ini ... kali ini dan kali ini ... apapun alasanmu itu. Dulu ... aku terlalu bodoh segampang itu mempercayaimu jika kau sudah mengatakan kali ini!" Terang si lelaki dengan nada meninggi.

Hening sejenak mewarnai suasana. Si pramusaji sebenarnya sudah selesai mengelap meja pelanggan sedari tadi. Namun dia memutuskan tidak langsung beranjak dari meja nomer 22. Dia malah berlagak sok sibuk membersihkan sesuatu, padahal niatnya hanya ingin mencuri dengar.

"Jika kamu tak mau lagi kembali kepadaku, mengapa kau sudi menghadiri ajakanku untuk datang ke kedai es krim ini setelah sekian lama mengacuhkanku? Bukankah kesediaanmu ini hanya membenamkan harapan palsu terhadapku?" Si gadis tirus mulai menggigiti bibirnya. Raut kecewa menguasai wajahnya.

"Aku mau menghadiri ajakanmu tak lain untuk menegaskan bahwa diriku sudah tak ingin lagi menjadi pelampiasanmu. Tak ingin lagi menjadi bonekamu. Kesimpulannya, aku ingin mengucapkan selamat tinggal dan aku harap ini adalah pertemuan terakhir kita. Jadi jangan pernah ganggu hidupku lagi," Jelas si lelaki. Kemudian dia berdiri, mengambil jaket almameter kampusnya yang tersampir di kursi dan memakainya.

Si lelaki beranjak dari kursinya. Namun belum jauh melangkah, dia berhenti sejenak, memalingkan wajah ke-belakang dan didapatinya kini posisi pandangan si gadis menatap hampa kursi kosong dimana sang lelaki tadi duduk.

Si lelaki merasa ada sesuatu yang perlu diucapkan kepada si gadis untuk yang terakhir kalinya. Pandangan si lelaki menggambarkan ketidakrelaan dirinya meninggalkan mantan pujaan hati. Namun, rasa benci juga terhampar dalam sorot matanya.

Lalu, entah mengapa lelaki itu memutuskan mengurungkan apapun yang ingin diungkapkannya terhadap si gadis. Lelaki itu memalingkan tubuh dan berjalan keluar kedai. Meninggalkan si gadis yang duduk mematung.

Entah apapun yang pernah dilakukan sang gadis terhadap lelaki itu, dari tempatnya berdiri, sang pramusaji menebak bisa saja luka dihati sang lelaki sudah terlalu dalam.

Mata sang pramusaji mengikuti pergerakan si lelaki yang terlihat dari luar kaca jendela kedai sedang berdiri di bawah lampu lalu-lintas dan bersiap menyebrangi zebra cross. Ketika si pramusaji melirikkan mata ke arah si gadis, dirinya terperanjat saat tatapan si gadis bertemu pandang dengan dirinya. Didapatinya, kelopak mata si gadis sudah dipenuhi air mata yang seolah menunggu hitungan aba-aba untuk segera berlinang.

Akhirnya, si pramusaji tertangkap basah menguping pembicaraan sedari tadi. Karena panik, si pramusaji berpura - pura mengelap papan kaca yang menjadi sekat antara mereka berdua dan berharap si gadis tak begitu curiga terhadap dirinya.

Gadis tirus itu memberdirikan tubuhnya, membuat cardigannya seketika melorot setengah badan, memperlihatkan seragam abu-abu khas pelajar SMA. Dia menarik tisu dari sarangnya di atas meja dan menyeka air matanya yang mengalir di pipi. Setelah itu dia kembali menatap ke samping, didapatinya dari balik sekat kaca si pramusaji memandanginya.

Si pramusaji menelan ludah, merasa ingin berlagak pura-pura lagi pun tak ada gunanya.

“Entah kenapa rasanya aku ingin bertukar tempat dengan dirimu.” Ucap si gadis.

Si pramusaji terhenyak disuguhi wajah sendu si gadis.

“Bagaimanapun, rutinitas mengelap sekat kaca dengan hati yang belum terluka  rasanya lebih melegakan daripada harus terang-terangan menjalani hari-hari ke depan dihantui perasaan tidak menentu.” Gadis itu menghela napas panjang.

“Namun, pintu kesempatan itu tetap masih ada kan? Walau sekecil apapun celah yang terbuka?” Si gadis mencoba tersenyum di tengah kesedihannya.

“Eh...,” Si pramusaji tertegun dilontarkan pertanyaan seperti itu. Dia tak tahu harus menjawab apa.  
  
Tak lama, si gadis beranjak pergi, berlari seperti orang kesetanan keluar kedai. Mata si pramusaji mengikuti langkah cepat si gadis. Rute yang diambil si gadis adalah rute yang dilalui oleh sang lelaki tadi. Si gadis tak menyerah, dia mengejar kembali si lelaki.

"Stella...!" Terdengar teriakan yang membuyarkan konsentrasi mengintai si pramusaji.
Ketika memalingkan wajah mencari di mana sumber teriakan yang memanggil namanya tersebut—didapatinya suara itu berasal dari manajernya yang kini berdiri bersedekap dada memberikan isyarat agar dirinya tidak bengong dalam bekerja dan segera membersihkan meja nomer 21 sebelum ada pelanggan lain yang menempati.

Stella mengangguk memberikan kode balasan agar segera mematuhi perintah. Dia keluar dari meja nomer 22 dan memasuki meja nomer 21. Diambilnya kembali lap dari saku seragamnya, namun gerakannya terhenti sebatas menggenggam pangkal ujung kain lap tanpa menariknya keluar dari saku saat mendapati es krim gelato vanilla coklat moccachino buatannya mencair dan porsinya masih utuh seperti sedia kala. Dia juga mendapati es krim yogurt bertabur buah milik si gadis meleleh membentuk genangan dalam mangkuk.

Stella ingat, enam bulan lalu selulus dirinya dari SMK, dia mendaftar kerja di kedai es krim ini sembari menumpuk pundi - pundi tabungan pribadinya agar mampu berkuliah suatu saat nanti. Ketika mulai bekerja, dia berjanji bakal serius mengolah dan membuat es krim pesanan pelanggan sebaik mungkin dengan penuh perasaan. Enam bulan ini memang hasilnya memuaskan, banyak pelanggannya yang gembira dengan racikan es krim olahannya.

Namun, rasa kecewa muncul setelah mendapati es krim racikannya saat ini dibiarkan meleleh tanpa diberi kesempatan dicecap oleh lidah. Dia lalu ingat beberapa menit yang lalu ketika disodori pesanan es krim gelato—dia membuatnya diluar resep resmi pemilik kedai.

Hasil semalaman browsing mengenai resep rahasia di internet, membuatnya bereksperimen meracik es krim gelato yang unik ala Stella dengan takaran manis yang belum pernah ada. Dan dia yakin rasanya bakalan nano - nano dilidah pelanggan. Oleh sebab itu, jadwal asli Stella akhir pekan ini yang seharusnya berada di dapur pembuatan sampai kedai tutup—tetapi dikarenakan dirinya penasaran ingin tahu langsung respon pelanggan yang mencicipi racikan temuan barunya, maka dirinya tak masalah merangkap menjadi pramusaji.

Sungguh sayang, hasilnya tak seperti yang diharapkan. Stella kembali menoleh ke arah luar jendela kedai. Di jalanan kini tak didapatinya kedua orang tadi, menghilang entah kemana.

Sesakit itukah...? Bahkan semanis apapun rasa yang aku tanamkan di dalam sebuah adonan es krim tak semudah itu mampu mendinginkan perasaan yang tercabik?   

                                                   ~~~~~~~~@@@@@~~~~~~~~

13 comments:

Arum Kusuma said...

Aku pikir awalnya kisah orang dewasa ternyata masih pada umur tanggung. Kuliahan dan bocah SMA!
😂😂

Kalo lagi sedih makan es krim atau coklat pasti lebih melegakan..

Sayang sekali es krimnya. Gak dicicipin pun. Ckckk

Muyassaroh said...

Bagus sekali cerpennya, detail banget menceritakan..saya sukaaa... ^^

Nathalia DP said...

Suka sama gaya penulisannya :)

piridifoodies said...

Nyeessss. ceritanya keren kak. huhu

The Other Side said...

Arum Kusuma @ Serius lagi sedih makan es krim atau coklat jadi melegakan? Sepertinya ada yang pengalaman, xixixixxi :) Yowis, kapan2 makan es krtim bareng Rum :P

Muyassaroh @ Makasih banyak ya mbak :) Cerpen mbak juga gak kalah bikin baper T,T :D

Nathalia DP@ Makasih banyak Mbak Lia :)

Foodies OF@ Walah kuk nyess, jangan2 es krimnya yang diriew bukan ceritanya hehe :) Terima-kasih ya :)

Fransisca Williana Nana said...

Suka sama jalan ceritanya! Gak disangka-sangka aja gitu. Yah es krimnya meleleh, tau gitu buat aku aja hehehe.

Baru pertama kali nih kesini, salam kenal ya! Mba nana baru aja follow, boleh followbacknya?
willynana.blogspot.com

The Other Side said...

Fransisca @ wah Nana suka es krim juga :) Makasih ya udah sempatin baca cerpenku :)
Siap Nana, pasti di folback :) Salam kenal juga :D

Annisa Rizki Sakih said...

iya, sayang es krimnya. Tapi si lelaki memang kalau sudah memutuskan sikap, maka harus tegas ya.. Meskipun si gadis menunjukkan kesenduannya, tetap diacuhkan saja

Cara Edit said...

tak kira cerita dewasa ..

The Other Side said...

Annisa Rizki Sakih@ Hehe ya mau gimana lagi mbak, hati yang berbicara disini. Kalau pikirannya ingin peduli ma si gadis tapi hati menolak tegas, ya sudah begitulah jadinya :D

Cara edit@ Walah, bukan gan :)

Himawan Sant said...

Alur ceritanya bagus dibaca sampai akhir.

Es krimnya daripada sia-sia ... buat aku aja deh 😁

The Other Side said...

Himawan Sant@ hehehe disini yang berkomentar rata2 pada ngincar es krimnya deh bang :D

zahra said...

Kalau dihitung-hitung, kejadiannya tuh hanya sebentar. Tapi bisa jadi sepanjang ini. Wah...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...